Posts

Racau

Hela nafasku Rindu Niscaya akan hilang Remah air mata Bungkam Dipeluk nestapa Entah apa muasalnya Siapa datang membawa lara? Tiada wujudnya Nirmala Kapan kugapainya? Singgasana Seorang Maharani pun Aku bukan Manusia Tiada puasnya Bertanya sesama Nihil jawabannya Sementara Di relung palung terdalam Sesaat Hinggap di surga dunia Syukur Hatur Kan Tuhan masih ada? 24.9.2023 23:54 Dalam rengkuhan sedih tanpa sebab, di teras rumah Bandung, ditemani paduan suara jangkrik dan hewan lainnya serta Marlong yang baru kusapa lagi setelah beberapa saat (yah, setidaknya ada yang menemani).

Rumpang

Untaian kata, -tutur Telepon genggamku, -tegur Media sosial ada banyak Semuanya ramai oleh- Haha hihi, cekakak-cekikik Kisah ini, kisah itu Kembang api tahun baru kalah ramai Video kocak, kirim padaku Lantun merdu, nyanyi untukku Genjreng gitar, main untukku Foto cantikku, tanya padaku: "Sudah punya pacarkah?" "Belum" "Sekadar bertanya" "Baik" Dari bait pertama sampai ketiga Ada yang hilang: ... Apa, ya? Kebahagiaan-, dibagikan oleh- Kesedihan-, ditumpahkan oleh- Padaku, padaku yang seorang ini. Saat bimbang, saranku -pertimbangkan Menjadi berarti, kurasakan kembali Di bait kelima pun ada yang hilang Kata yang hilang itu: ...... ... Apa, ya? Pada mula dan pada saat Tiada kurasakan getaran hati Bahagia, kuakui Namun sepertinya tidak lebih Pada setelah, hampa -buat aku bahagia Senyum-, kunantikan Yang pasti: Aku dibutuhkan oleh- Menjadi berarti: semangat hidup tinggi Dari bait di atas pun ada yang hilang Sepertinya yang hilang itu penting Kata itu:

Menemukan(?)

Satu dua pulau tak cukup jauh Satu dua jam tak cukup lama Dipisahkan jarak Namun apa daya jarak? Untuk dua kera era ini Kita cukup dekat untuk menebar gelak Mengumpan takut Berbagi tangis dan resah Tiada solusi bukan perkara Setidaknya risau tak berkicau Setidaknya masalah telah tumpah Dalam kata Bukan hilang Hanya lenyap sesaat Setidaknya dalam cakap Setidaknya itu aku Setidaknya itu kau Di sebelah sini Di seberang sana Dalam malam kadang temaram Kita Dalam malam kadang gulita Kita Dalam malam kadang gemerlap Kita Pernah lupa apa artinya berarti Salah satu di antara kita Lalu menemukan Setidaknya berpikiran seperti itu Diri yang seorang ini in another random heartbreak 29.6.2023 00:11  (malam idul adha, Jakarta hujan deras) -Mangkuk Ramen-

Random

Kalau hatiku diciptakan untuk serapuh ini, mengapa belum kutemukan obatnya? Mengapa aku mengharapkan maaf kalau maaf sekadar kata? Maaf aku telah berharap. Maaf aku terlalu naif. Maaf, tapi hatiku masih sakit. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Aku berusaha sebaik mungkin. Aku tidak mengulanginya lagi. Jangan. Jangan biarkan aku mendekam di balik jeruji masa lalu. Aku lelah harus mengingatnya. Kalian membuang aku di benua biru impianku. Benua itu menjelma menjadi kelabu. Sejak maaf hanya terucap dari bibirmu. Bukan apa-apa. Aku cuma butuh kamu dan kalian. Karena di sana aku sebatang kara. Aku menghadapi banyak hal yang perdana. Bersama kalian tidak mudah, tetapi setidaknya aku bahagia. Setidaknya aku tidak sendirian. Bukan apa-apa. Rantauku jauh melintasi berbagai samudera. Walaupun aku yang terbodoh, kita anak dari ibu yang sama: Ibu Pertiwi. Dingin di sana bisa dihangatkan oleh tawa kita. Bukankah sudah seharusnya kita saling menjaga? Tolong. Selamatkan aku dari rundungan masa lalu.

Dewasa

Andai saja aku dewasa. Aku sudah akan rela bukan? Bagaimana cara kerja orang dewasa? Tersenyum di panggung dan menangis pilu di belakang layar? Menjadi badut yang iklannya tak ditempel di tiang? Andai saja aku dewasa. Rasa sakit ini mungkin sudah hilang entah sejak kapan. Sudah tegar walaupun dibuang banyak orang. Sudah tidak peduli urusan mereka-mereka yang tak ingin berteman. Andai saja aku dewasa. Aku tak akan peduli lagi terhadap mereka yang menyakitiku, bukan? Terus maju tanpa membiarkan setitik gubris pun tertinggal. Lantas mencapai puncak sambil mengatakan, "Aku cinta aku." Andai saja aku dewasa. Kepada mereka yang membuangku, aku akan tetap tenang, bukan? Tidak malah meluapkan emosi Kyubi yang belum jinak. Tidak juga melingkarkan dendam dalam hati. Kalau ketemu mereka, aku sapa dengan senyum. Andai aku dewasa, Apakah perasaanku tetap serumit ini? Apakah orang dewasa juga manusia? Mengapa mereka keren sekali? Adakah sekolah yang mengajarkan kedewasaan selain sekolah ke

Lho?

Aku terjebak di antara dua pilihan. Ikut atau bersimbah kepada rumah? Setelah melalui pikir panjang, Setelah diskusi dengan mereka yang aku anggap dewasa, Aku diam. Menyerahkan diri pada rumah saja. Toh tak lama lagi genderang takbir akan berkumandang. Tanda rumah adalah nomor satu. Aku di sini saja. Berupaya membantu. Setidaknya menampakkan diri pada yang kusebut rumah. Tibalah hari ini. Aku melihat senang dari wajah-wajah itu. Tanpaku. Lho? Lho? Mulai. Mulai pikiranku melanglangbuana ke danau gulana. Mulai hatiku bergetar gelisah. Bukannya aku yang memilih tinggal? Aku memaksakan diri. Selamat bersenang-senang. Begitu ucapku. Lantas kuberanikan diri Melihat senyuman-senyuman mereka. Melihat kenyataan bahwa tidak satu tempat saja mereka sambangi. Aku hanya diajak ke satu tempat, kan ? Berarti aku memang tidak diajak ke tempat lainnya? Lho? Lho? Mulai. Mulai berprasangka buruk sendiri. Kalau tidak ingin sakit hati, ya jangan dilihat. Daripada sakit hati, lebih baik tidak tahu sama seka

Hah

Kamarku semakin dingin.  Mungkin karena penghangat ruangan yang mati? Atau karena suhu di luar menjelma menjadi suhu kulkas? Kamarku semakin dingin. Dinginnya sampai menusuk tulang. Menghampiri setiap sudut celah yang bersemayam di rongga-rongga. Kamarku semakin dingin. Kulitku semakin kering. Mudah mendapatkan luka tanpa alibi. Kamarku semakin dingin. Suhu ini menggebu-gebu. Mendukungku untuk berperang. Melawan semangat hidupku di dunia. Ditulis dalam kondisi hampir tidak sadar. Heidelberg, 22. November 2021.