Lho?

Aku terjebak di antara dua pilihan.
Ikut atau bersimbah kepada rumah?
Setelah melalui pikir panjang,
Setelah diskusi dengan mereka yang aku anggap dewasa,
Aku diam.
Menyerahkan diri pada rumah saja.
Toh tak lama lagi genderang takbir akan berkumandang.
Tanda rumah adalah nomor satu.
Aku di sini saja.
Berupaya membantu.
Setidaknya menampakkan diri pada yang kusebut rumah.

Tibalah hari ini.
Aku melihat senang dari wajah-wajah itu.
Tanpaku.
Lho? Lho? Mulai.
Mulai pikiranku melanglangbuana ke danau gulana.
Mulai hatiku bergetar gelisah.
Bukannya aku yang memilih tinggal?

Aku memaksakan diri.
Selamat bersenang-senang.
Begitu ucapku.
Lantas kuberanikan diri
Melihat senyuman-senyuman mereka.
Melihat kenyataan bahwa tidak satu tempat saja mereka sambangi.
Aku hanya diajak ke satu tempat, kan?
Berarti aku memang tidak diajak ke tempat lainnya?
Lho? Lho? Mulai.
Mulai berprasangka buruk sendiri.

Kalau tidak ingin sakit hati, ya jangan dilihat.
Daripada sakit hati, lebih baik tidak tahu sama sekali.
Bukannya aku bisa memilih?
Memilih untuk tutup mata dan telinga?Bukannya aku bisa?
Sarafku, kan, masih berfungsi dengan baik.

Instagram bukan hidup.
Pun media sosial lainnya.
Kalau aku tak kerasan melihat huru-hara di sana, tinggal dihapus saja.
Banyak cara untuk melepas mataku dari sana.
Begitu sebenarnya.
Begitu seharusnya.
Tutup mata tutup telinga.
Masa' begitu saja aku tak bisa?

Setiap kali aku melihat kalian bahagia tanpaku, masih hanyut aku dalam cemburu.
Masih redup pikiranku dibutakan amarah.
Entah amarah terhadap apa.
Aku saja tidak paham pada diriku sendiri.
Masih sakit hatiku.
Terkadang aku berharap mereka mengatakan maaf dengan tulus kepadaku.
Lalu kamip kembali seperti awal lagi.
Namun, kupikir, maaf atas apa?
Toh, mereka tak merasa bersalah.
Salah karena apa?
Aku yang tak cocok, lantas aku yang marah?
Yang ada aku dicap gila.

Setiap kalian tersenyum, lekat di ingatanku sepasang mata.
Sepasang mata yang kerap menatapku dengan jijik.
Sebuah mulut cerewet yang tak pernah mau terbuka lagi untukku.
Sebuah manusia yang memperlakukanku lebih buruk daripada parasit.
Iya, memang akar semuanya adalah salahku.
Namun, apakah aku pantas diperlakukan begitu?

Dan karena aku merasa itu keterlaluanlah, aku kadang geram sendiri melihat senyum itu.
Di mataku ramah-tamah itu tampak palsu.
Bagaimana bisa ia baik pada orang lain, tetapi di sisi lain ia memperlakukanku seperti manusia buangan?
Bahkan mungkin aku tak lagi dianggap manusia olehnya?

Perasaanku setiap melihatnya adalah perasaan paling absurd.
Ada geram, marah, kesal.
Ada pula nestapa, gusar, pilu.
Yang paling berat adalah rindu.
Hatiku ini terbuat dari apa?
Mengapa aku masih menyimpan rindu terhadap dia yang tak menganggapku ada?
Mengapa aku masih menyimpan rindu terhadap mereka yang bahkan tak berusaha mencairkan suasana antara aku dan dia?
Memikirkan diri sendiri saja.
Asal mereka senang, maka keretakan antara aku dan dia hanya angin lalu saja.

Hatiku ini terbuat dari apa?
Mengapa berat sekali beban yang ditanggungnya?
Aku ini kenapa?
Mengapa aku harus tertimbun dalam perasaan sangat rumit yang dibuat olehku sendiri?
Dari sekian banyak orang yang bisa melepas kenangan, mengapa aku yang selalu sulit merelakan?

Aku hidup tanpa kurang.
Namun selalu bergelut dengan kenangan.
Rindu yang mencekam.
Sebab yang dirindukan tidak menganggapku manusia.
Mungkin tak menganggapku makhluk hidup.
Sebab yang dirindukan tidak ada niat memperbaiki.
Persetan aku hidup atau tidak.
Persetan aku ada atau tidak.
Ya, dia membenciku.
Dan aku bisa apa?

Mari kembali ke bait keempat.
Kalau tidak ingin sakit hati, ya jangan dilihat.
Daripada sakit hati, lebih baik tidak tahu sama sekali.
Bukannya aku bisa memilih?
Memilih untuk tutup mata dan telinga?Bukannya aku bisa?
Sarafku, kan, masih berfungsi dengan baik.
Setelah kuulang, aku jadi paham.
Aku bisa memilih untuk tidak melihat dan tidak mendengar.
Namun, aku tak bisa memaksakan diri untuk tidak peduli.
Belum.
Semoga secepatnya.
Aku lelah.

Jakarta, 28 April 2022.
Dalam upaya pemulihan diri.

Comments

Popular posts from this blog

Rumpang

Racau

Menemukan(?)