Catatan Semu Yema


Aku merasa, setiap kali aku berbicara, setiap patah kata yang kuucap hanya menuai abai. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa abai yang kudapatkan itu berasal dari orang-orang di sekitarku.

Sebaliknya, setiap kali dia berbicara, dengan topik, inti, dan pendengar yang sama dengan yang pernah kuucap, ia selalu disimak. Padahal statusnya denganku setara, lahir dari lubang yang sama. Bedanya, memang ia lebih dulu menyembul ke dunia. 

Aku merasa, pemberian-pemberian dariku, yang kuserahkan dengan wajah bahagia dan perasaan bangga, kerap menerima nol semringah. Pemberian-pemberian itu memang diterima oleh tangan-tangan yang sudah mulai keriput itu, tetapi beberapa kali kupergoki bahwa pemberianku mendekam di sudut lemari saja, tanpa disentuh sedikit pun. 

Namun, ketika suatu hari dia yang lahir dari lubang yang sama denganku itu memberikan barang yang serupa, tangan-tangan keriput itu menerimanya, dan sering menggunakannya. Sampai habis atau lapuk dimakan oleh mulut atau waktu. 

Bahkan pemilik tangan itu pernah melupakan hadiah yang kubeli khusus untuknya pada ulang tahunnya beberapa tahun lalu. Ia lupa bahwa aku pernah memberinya buku itu. Buku acak yang kuambil dari rak buku Gramedia. Acak, tetapi kurasa buku itu cocok untuknya. Detik ini, buku itu masih mendekam di dalam plastiknya yang mulai buram ditimpa para debu.

Hal-hal seperti itu tak jarang mengusikku, menimbulkan pertanyaan, sebenarnya siapakah diriku? Mengapa aku seperti ghaib di sini? Tak didengar, tak disimak. Padahal tengah berbicara dengan bersemangat, mencoba terbuka. Kalau begini, apakah salahku kalau aku lebih memilih menghabiskan waktu sendiri atau bersama orang-orang yang waktu pertemuannya denganku tidak lebih lama dari orang-orang yang mengabaikanku?


#fiksi #reafik #catatanharianyema #catatansemuyema

Comments

Popular posts from this blog

Rumpang

Racau

Menemukan(?)