Catatan Semu Yema 2

Sepanjang hari  ini aku bak mengabdi kepada Erif, satu-satunya manusia yang paling kusayang di rumah ini.Aku mengurus semua kebutuhannya untuk mendaftarkan diri ke sebuah sekolah. Di tengah pandemi sialan ini, aku harus mendaftarkannya melalui jalur maya, jalur tanpa interaksi tatap muka dan tanpa interaksi langsung dengan orang lain. Beberapa menit setelah semua persyaratan terunggah, aku dihubungi oleh seorang pihak penyelenggara pendaftaran ini dan dikabarkan bahwa orang yang kusayangi membutuhkan surat dari seorang ahli psikologi yang terbaru, bukan karena dia sakit mental atau menunjukkan gejala sakit mental. Surat itu dibutuhkannya hanya untuk memenuhi syarat sebuah jalur masuk. Sebenarnya, aku sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. sejak pagi tadi aku telah ragu apakah surat keterangan dari psikolog yang dibuat tiga tahun lalu masih diizinkan untuk menembus babak-babak pendaftaran sekolah ini. 

Keraguanku ini pun telah kulontarkan kepada seseorang yang di sini akan kupanggil Si Kumis Belang. Tadi pagi ia malah mengatakan, "Tes Psikologis itu harus bayar Rp500.000." Aku yang terkejut mendengar pernyataan itu langsung mengucapkan, "Hah? Bukannya enggak apa-apa kalo misalnya mengeluarkan uang untuk pendidikan anak?" Ia kemudian berdalih, "Oh, tentu saja kalau soal pendidikan anak enggak masalah." Ucapannya yang ini bagiku sangat berkebalikan dengan ucapannya sebelumnya serta tindakannya. Buktinya mana? Ini yang ada hanya keterangan dari ahli psikologi yang dibuat sekitar tiga tahun lalu. tidak ada surat yang terbaru. Walaupun kesal dengan bualan yang tidak sesuai fakta itu, aku masih berusaha berpikir positif bahwa Erif mungkin masih bisa mendaftar ke sekolah meskipun menggunakan surat keterangan psikologi yang nampaknya sedikit telah kedaluwarsa. Maka kuunggahlah semua persyaratannya, termasuk surat keterangan ahli psikologi dari tiga tahun lalu itu.

Seperti yang telah kugurat di paragraf pertama, benar saja, kekhawatiranku menjadi nyata. Suara pihak penyelenggara diantarkan oleh sinyal sambungan telepon untuk menyampaikan kepada telingaku perihal penolakan berkas pendaftaran, Salah satu kesalahannya terletak di surat keterangan ahli psikologi yang tidak aktual. Dengan sigap, aku berseru kepada adikku dan Si Kumis Belang agar segera bersiap-siap mengunjungi psikolog agar bisa segera mendapatkan surat keterangan yang kumaksud. Bergegaslah mereka menyulap pakaian masing-masing dari yang tadinya hanya oblong dan celana pendek menjadi pakaian yang lebih rapi. Mereka bersiap-siap untuk pergi. Seseorang yang di sini akan kusebut sebagai Si Dahi Berkerut yang sejak tadi pagi merebahkan diri di kamar pun turut bersiap-siap dengan tergesa-gesa.

Aku mengantarkan kepergian Erif, Si Kumis Belang, dan Si Dahi Berkerut dari teras rumah. Suasana saat melepas mereka sedikit terasa pengap dan sesak karena dirundung buru-buru. Ketika mereka telah meletakkan bokong di jok mobil, mereka menyadari bahwa mereka lupa membawa kunci rumah. Karena suasana panik dan buru-buru serta jarak antara aku dengan mobil kupikir cukup memakan waktu, aku merasa bahwa mereka harus bergegas. Aku pun melemparkan kunci rumah ke Si Kumis Belang yang duduk di bangku sopir. Orang di sebelahnya yang merupakan Si Dahi Berkerut langsung merespons lemparanku kepada Si Kumis Belang dengan nada emosi, "Tabok aja anak itu!" Aku melongo. Bingung. Kesalahan apa yang sebenarnya kubuat? Mengapa Si Dahi Berkerut sampai bereaksi seperti itu kepadaku? Apakah aku tidak boleh melempar kunci dari jarak seperti itu kepada Si Kumis Belang yang kuanggap sebagai orang dekatku? Bukankah harusnya mereka akrab denganku? Bukankah orang akrab bisa melakukan hal-hal sepele seperti melempar kunci agar lebih cepat dan efisien, mengingat aku membutuhkan beberapa langkah kaki untuk menggapai tempatnya? Kulihat di beberapa film bahwa hal itu adalah hal yang wajar. Apakah itu salahku sepenuhnya? Atau kami yang tinggal di bawah naungan atap yang sama ini sebenarnya tidak dekat sehingga tidak bisa berperilaku seperti sahabat? Segala-galanya yang ada di antara kami harus formalkah?

Peranyaan-pertanyaan yang banyak itu muncul menyerang otakku dengan serentak hanya dalam tiga detik. Akibatnya, pertanyaan yang menumpuk itu memicu detak jantung dan amarah yang dahsyat dari diriku. Dibakar api amarah karena respons Si Dahi Berkerut kepadaku, aku mengambil kunci yang satu lagi dan melemparkan kunci itu ke arah mobil yang tengah melaju pelan untuk keluar dari pagar rumah. Kunci itu tepat mengenai kaca belakang mobil dan itu langsung membuat mobil itu terhenti. Detik selanjutnya, Si Kumis Belang dan Si Dahi Kerut keluar berbarengan dari mobil dan buru-buru menuju ke arahku dengan kecepatan dan tampang ingin menghardik. Aku yang menyadari kemarahan dari dua makhluk itu lantas kabur ke dalam rumah dan menutup pintu rumah rapat-rapat. Walaupun telah kuupayakan untuk menahan pintu dengan tangan dan tubuh, akhirnya pertahananku runtuh, Mereka menyeruak masuk ke dalam, memburuku. 

Aku benar-benar benci di sini. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk hidup mandiri.


#fiksi #reafik #catatanharianyema #catatansemuyema

Comments

Popular posts from this blog

Rumpang

Racau

Menemukan(?)